Selasa, 01 September 2015

What's Wrong with 'Makarooong'

Menyesal itu...ketika kita sedang berada di suatu tempat, tetapi kita tidak bisa merasakan makanan khas daerah setempat secara langsung. ya, setidaknya hal itulah yang saya rasakan ketika tahun lalu, ketika saya dan keluarga tengah keliling Eropa, tetapi kami kesulitan untuk mencicipi makanan khas Benua Biru itu.
Tapi yang paling bikin saya penasaran, ketika di Paris, Tour Guide menjelaskan mengenai makanan khas yang lagi 'happening' banget yaitu Macaroon, yang berbentuk seperti burger kering warna-warni, yang oleh penduduk lokal dilafalkan dengan dengungan di akhir kata,"Makarong"! Ingin sekali rasanya mengunjungi Laduree, tempat penjual kue tersebut yang terkenal sedunia karena macaroon-nya laris-manis, dan kalau beli dipastikan mengantri. Dan karena mengantri itu..akhirnya sang Tour Guide mencoret acara kunjungan ke toko macaroon yang konon tertua di Perancis itu. Perkenalan saya dengan kue ini sebenarnya telah terjadi setahun sebelumnya, tepatnya secara tidak sengaja ketika selesai berolahraga di lapangan IRTI Monas (senam pagi kantor), kebetulan saat itu ada salah satu dari pimpinan yang berulang tahun dan mendapat kue ultah dari sebuah bank. Nah di atas kue itu lah terdapat dua buah hiasan seperti yoyo kecil yang berwarna nge-jreng. Waktu kue dipotong dang dibagikan, saya tidak begitu tertarik dengan hiasan berwarna mencolok itu. "Hmm...pasti hiasan kue itu mengandung banyak bahan pewarna makanan", gumamku membatin. Nah itu lah kesan pertamaku yang tidak sengaja bertemu dengan Macaroons.
Di Paris, akhirnya kami mampir di sebuah cafe yang menjual coklat hangat terenak se-galeri Lafayette. Walaupun bukan makanan khas, namun manis dan romantisnya cafe tersebut membuat saya untuk jatuh cinta... ya setidaknya cinta lokasi dengan teman seperjalanan satu rombongan. Aku dan keluargaku serta dia dan keluarganya sama-sama menikmati coklat hangat melepas penat setelah lelah berkeliling museum Louvre dan window shopping di galeri. Tapi..saya masih memikirkan macaroon !
Sampai kembali di Tanah Air, saya masih penasaran dengan penganan manis asal Itali yang lebih populer di Perancis itu. Sampai suatu saat saya ingin membuatnya sendiri, tetapi karena keterbatasan waktu, peralatan, dan bahan, maka saya memutuskan untuk membeli saja. Saya mencari toko kue di Jakarta yang menjual macaroon yang halal dan istimewa. Sampai saya ingat kembali kue ulang tahun pimpinan waktu itu yang terdapat hiasan macaroon di atasnya. Tepat ketika saya berulang tahun, saya memesan kue ultah istimewa yang di atasnya terdapat macaroon tower. Memang tidak murah, namun untuk kualitas rasa dan penampilan, sebanding lah dengan yang saya bayarkan. Terlebih lagi, kue ulang tahun yang saya pesan dijamin halal. Tapi sayangnya, karena kue saya yang ukurannya agak tinggi, besar dan agak riskan, maka toko kue The Harvest di Menteng tidak bersedia mengantarkan kue tersebut ke kantor saya, Balai Kota, padahal jaraknya dekat. "kalau untuk kue jenis lain yang bentuknya sederhana bisa diantar, tapi kalau kue yang ada macaroon tower-nya tidak diantar", begitu penjelasan dari pelayan toko. Akhirnya, beberapa orang menjemput kue pesanan menggunakan taksi agar kue ultah sampai dengan selamat. Daripada repot-repot, kenapa waktu itu saya tidak memesan lewat https://www.foodpanda.co.id saja ya...musti bisa pesan online dan pasti diantar langsung!
Teman-teman di kantor sangat terkesan, mereka berebut berfoto dengan kue ultah yang ada macaroon di atasnya. Setelah puas berfoto bersama, kami sama-sama menikmati bagian untuk mencicipi kue ala Perancis ini. Kue coklatnya enak, macaroon-nya renyah, itulah kesimpulan dari sekian percakapan dari teman-teman.
Dan pada suatu waktu, diselenggarakanlah LOMBA FOTO DESTINATION EUROPE 2014 yang diselenggarakan oleh European Union in Indonesia dimana peserta lomba dapat mengirimkan foto mengenai hal-hal favorit di Eropa. Bisa buku, CD favorit, baju bikinan desainer Eropa favorit, makanan favorit, dan lainnya. Dari sekian banyak foto hasil jalan-jalan saya keliling Eropa yang saya kirimkan ke panitia, ternyata hanya foto kue ultah macaroon saya yang saya beri judul 'Makarooong' saja lah yang lolos seleksi untuk maju dalam seleksi lomba foto selanjutnya.
Singkat kata, walaupun bukan juara pertama, tetapi foto 'Makarooong' saya yang judulnya telah diperbaiki panitia menjadi 'Macaroon' terpilih menjadi salah satu pemenang foto untuk kalender European Union in Indonesia tahun 2015. Saya sangat senang dan bersyukur sekali, alhamdulillah...kalender ini akan saya simpan untuk kenang-kenangan anak cucu ! Saat ini, saya kembali mengikuti kontes blogger Food panda Summer Travel Blogger Contest 2015 yang hadiahnya Tiket Pesawat Senilai US$1000, siapa tahu menang dan bisa keliling Eropa lagi, kali ini khusus untuk wisata kuliner ! Aamiiinnn..

Sabtu, 14 September 2013

Mari Kita Dukung Jamu Sebagai Warisan Kebudayaan Tak-Benda Bangsa Indonesia

Festival Jamu dan Kuliner Internasional 2013 resmi dibuka pada Jum’at malam, 13 September 2013. Rencananya acara ini berlangsung selama tiga hari hingga tanggal 15 September 2013. Acara ini dilangsungkan di halaman kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah, Semarang. Festival ini diikuti oleh 10 negara peserta yakni Polandia, Spanyol, Mesir, Jepang, Vietnam, Rusia, China, Austria, Jerman, dan Cekoslovakia. Di samping itu juga ada 5 negara peninjau di ataranya Filipina Myanmar, dan Singapur. Acara yang pada tahun ini mengusung tema ‘Jamu dan Kuliner Sebagai Warisan Budaya Lokal untuk Pasar Internasional’ menyediakan 53 stan jamu dan 10 stan kuliner dalam upaya melestarikan budaya lokal. Perhelatan ini merupakan salah satu agenda dalam rangkaian acara Visit Jawa Tengah 2013 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jateng. Dari dalam negeri, ditampilkan berbagai produk jamu dan herbal olahan dari Usaha Kecil Menengah (UKM) hingga jamu dan ekstrak tanaman yang diolah dari pabrikan.
Saat ini Jamu telah resmi dipersiapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk diajukan ke UNESCO untuk memperoleh pengakuan sebagai Warisan Kebudayaan Dunia. Langkah Kemendikbud ini merupakan awal dari perjuangan mengusung jamu menjadi Warisan Kebudayaan Tak-Benda, masih banyak langkah selanjutnya yang harus ditempuh, seperti meyakinkan panitia penilai UNESCO di samping harus menempuh antrian panjang karena setiap tahun UNESCO hanya berkenan mengakui satu saja Warisan Kebudayaan Tak-Benda dari setiap negara anggota lembaga kebudayaan PBB tersebut. Usaha Kemendikbud ini perlu dukungan dari berbagai pihak, dari Sabang sampai Merauke bersama-sama meyakinkan UNESCO bahwa jau benar-benar merupakan bagian integral kebudayaan Bangsa Indonesia di bidang kesehatan, kecantikan, yang layak dinobatkan sebagai salah satu Intangible Cultural Heritage setara dengan keris, batik, angklung, dan lain sebagainya.
Mahalnya harga obat di Indonesia sudah melampaui batas kemampuan ekonomi masyarakatnya, di satu sisi kebijakan pemerintah untuk mengedarka obat generik yang lebih murah daripada obat paten tampaknya tidak banyak membantu. Sejauh ini masyarakat Indonesia masih menggunakan obat-obatan kimia konvensional (obat paten) sebagai pilihan pertama di setiap pengobatan penyakitnya di tengah tingginya ragam tumbuhan berkhasiat obat di Indonesia. Sebelumnya sebuah survey pernah dilakukan untuk melihat seberapa populer jamu pada masyarakat Indonesia, hasilnya hampir 50% penduduk Indonesia pernah mengonsumsi jamu untuk mengobati dirinya, baik itu untuk menggantikan obat konvensional atau mendampingi terapi dengan obat konvensional. Banyak alasan mengapa profesional kesehatan seperti dokter ataupun apoteker tidak melakukan edukasi mendalam mengenai obat bahan alam ini, terutama untuk jamu tradisional. Kendala utama edukasi dan pemanfaatan jamu dalam pengobatan adalah, bukti ilmiah yang terkumpul masih sangat sedikit. Kurangnya pembuktian ilmiah, yang menyebabkan tenaga kesehatan belum merekomendasikan jamu kepada pasiennya. Bukti empiris atau pengalaman masyarakat tidaklah cukup kuat untuk menjadikan dokter dan apoteker memberikan rekomendasi memakai jamu dalam pelayanan kesehatan yang dilakukannya.
Sejak tahun 2010, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Permenkes no. 3 tahun 2010 mengenai saintifikasi Jamu, yaitu sebuah upaya dan proses pembuktian secara ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan, tidak hanya berdasarkan pengalaman turun menurun, namun khasiat jamu harus dapat dibuktikan secara keilmuan melalui penelitian. Langkah pertama yang dilakukan Depkes adalah dengan memberikan pelatihan khusus kepada dokter, dokter gigi, dan apoteker. Kemenkes menargetkan tahun 2015 nanti di setiap kabupaten/kota mempunyai puskesmas yang melayani pengobatan tradisional, komplementer, dan alternatif. Sejauh ini di Indonesia terdapat tiga kategori obat bahan alam antara lain jamu, herbal terstandar dan fitofarmaka. Pengelompokan tersebut berdasar atas cara pembuatan, klaim pengguna serta tingkat pembuktian khasiat.
Jamu Jamu merupakan bahan obat alam yang sediaannya masih berupa simplisia sederhana, seperti irisan rimpang, daun atau akar kering. Sedang khasiatnya dan keamanannya baru terbukti setelah secara empiris berdasarkan pengalama turun-temurun. Sebuah ramuan disebut jamu jika telah digunakan masyarakat melewati 3 generasi. Artinya bila umur satu generasi rata-rata 60 tahun, sebuah ramuan disebut jamu jika bertahan minimal 180 tahun. Selain tertulis "jamu", dikemasan produk tertera logo berupa ranting daun berwarna hijau dalam lingkaran.
Herbal Terstandar Herbal terstandar berada satu tingkat di atas jamu, jamu dapat dinaikkan kelasnya menjadi herbal terstandar dengan syarat bentuk sediaannya berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang terstandarisasi. Disamping itu herbal terstandar harus melewati uji praklinis seperti uji toksisitas (keamanan), kisaran dosis, farmakodinamik (kemanfaatan), dan teratogenik (keamanan terhadap janin). Uji praklinis meliputi in vivo dan in vitro. Riset in vivo dilakukan terhadap hewan uji. Sedangkan in vitro dilakukan pada sebagian organ yang terisolasi, kultur sel atau mikroba. Riset in vitro bersifat parsial, artinya baru diuji pada sebagian organ atau pada cawan petri. Tujuannya untuk membuktikan klaim sebuah obat. Setelah terbukti aman dan berkhasiat, bahan herbal tersebut berstatus herbal terstandar. Meski telah teruji secara praklinis, herbal terstandar tersebut belum dapat diklaim sebagai obat. Namun konsumen dapat mengkonsumsinya karena telah terbukti aman dan berkhasiat. Kemasan produk Herbal Terstandar berlogo jari-jari daun dalam lingkaran.
Fitofarmaka Sebuah herbal terstandar dapat dinaikkan kelasnya menjadi fitofarmaka setelah melalui uji klinis pada manusia. Dosis dari hewan coba dikonversi ke dosis aman bagi manusia. Dari uji itulah dapat diketahui kesamaan efek pada hewan coba dan manusia. Bisa jadi terbukti ampuh ketika diuji pada hewan coba, belum tentu ampuh juga ketika dicobakan pada manusia.Uji klinis terdiri atas single center yang dilakukan di laboratorium penelitian dan multicenter di berbagai lokasi agar lebih obyektif. Setelah lolos uji fitofarmaka, produsen dapat mengklaim produknya sebagai obat. Namun demikian, klaim tidak boleh menyimpang dari materi uji klinis sebelumnya. Itulah tiga kriteria produk bahan alam dan tahapan panjang yang harus dilalui oleh produsen obat bahan alam untuk mendapatkan status tertinggi sebagai obat yaitu fitofarmaka. Semua uji tersebut ditempuh demi keamanan konsumen. Sebagai konsumen jamu, saya biasanya membeli produk yang direkomendasikan oleh keluarga, umumnya yang merek dagangnya sudah familiar di pasaran, pada kemasan produknya terdapat nomor registrasi dari badan pengawas obat dan makanan (BPOM) dan dinas kesehatan, serta terdapat tanggal produksi serta tanggal kadaluarsa. Di masa lalu, produk jamu masih sedikit variannya. Seiring dengan kemajuan zaman, varian jamu pun semakin berkembang, kemasan dan penyajiannya pun mulai berubah. Dulu jika hendak mengonsumsi jamu, hal pertama yang terbayang adalah rasanya yang pahit. Sekarang, untuk menghindari rasa pahit, ada jamu yang berbentuk butiran tablet atau kaplet yang bisa langsung diminum segera tanpa menyisakan rasa pahit. Di beberapa tempat kini tersedia es krim jamu. Tentu saja kadarnya jamunya hanya sedikit, sajian ini merupakan cara unik untuk mempopulerkan jamu kepada kalangan anak muda.
Menurut pengalaman penulis, yang sejak kecil sering mengonsumsi jamu, khasiat jamu berbeda dengan obat paten yang sekali minum langsung cespleng. Khasiat jamu yang merupakan ramuan alami ini dirasakan bertahap, tidak instan seperti obat paten. Untuk produk jamu yang khasiatnya langsung terasa, patut diwaspadai jika produk tersebut merupakan jamu berbahan kimia obat (BKO) yang telah dicampur zat kimia yang dapat berdampak buruk bagi tubuh. Kita wajib mewaspadai produk jamu di pasaran yang memiliki ciri kemasannya bergambar aneh dan nama jamunya pun aneh. Apalagi jika tercium aroma kimia dari larutan jamu tersebut. Selain itu, jika jamu tidak ada keterangan Bahasa Indonesia-nya dapat dipastikan bahwa jamu tersebut tidak melewati pengawasan BPOM dan dinas kesehatan. Semoga ilmuwan, cendekiawan, dan budayawan Nusantara dapat membantu Kemendikbud menginventarisir perbendaharaan seluruh jenis jamu yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Penulis berharap di masa datang festival jamu dan kuliner internasional dapat diselenggarakan di berbagai daerah di Indonesia, sehingga UNESCO pun menjadi yakin bahwa jamu memang benar-benar layak dijadikan sebagai Warisan Kebudayaan Tak-Benda dari Bangsa Indonesia.
Bersumber : http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-info/501-info-jamu-as-world-cultural-heritage-2013 http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/09/11/236436/Festival-Jamu-Internasional-di-Gubernuran http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news_smg/2013/09/14/171904/-Festival-Jamu-dan-Kuliner-Internasional-Resmi-Dibuka-Gubernur http://www.manjur.net/02/10/2012/saintifikasi-jamu-jadikan-jamu-tuan-rumah-di-indonesia http://health.kompas.com/read/2013/01/31/09021466/Kiat.Mengenali.Jamu.Berbahaya http://lansida.blogspot.com/2011/04/bedanya-jamu-herbal-terstandar-dan.html http://www.indonesia.go.id/en/regional-government/central-java-province/1215-pariwisata/13326-festival-jamu-internasional-digelar-di-semarang http://www.tempo.co/read/news/2013/09/02/058509551/Festival-Jamu-Internasional-Digelar-di-Semarang http://bumi-herbal.com/2013/06/jejaring-saintifikasi-jamu-diperluas/ http://www.duniaproduk.com/berita/34323/es-krim-jamu-upaya-populerkan-kepada-kaum-muda

Sabtu, 27 Juli 2013

Sehari Semalam Berwisata Bahari di Pulau Terindah di Kepulauan Seribu

Dua bulan lalu, pada awal Mei, terdapat harpitnas (hari kejepit nasional). Libur sehari itu saya manfaatkan untuk berwisata keluar dari hiruk pikuk kota. Kebetulan ada rombongan senam pernapasan, yang ibu saya ikuti, ingin bertamasya ke Pulau Tidung. Saya pun ikut, dengan biaya relatif murah, sekitar tiga ratus ribu-an per orang, saya sudah dapat mengikuti paket wisata ke sana.




Kami serombongan terdiri dari 11 orang, terdiri dari 6 orang ibu-ibu pensiunan yang sekarang aktif sebagai anggota senam pernapasan, 4 orang instruktur senam, dan saya sendiri PNS aktif yang ikut-ikutan ibunya bertamasya ke Pulau Tidung. Seumur-umur, dari saya lahir sampai besar di Jakarta, belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di salah satu pulau dari Kepulauan Seribu. Saat itulah kali pertama saya mengunjungi Kepulauan Seribu.


Rombongan kami berangkat pagi sekali menuju pelabuhan rakyat Muara Angke, untuk mencapai ke sana, kami harus melewati pelelangan ikan yang jalanannya becek dan beraroma tidak sedap, sangat menyengat, tidak bersahabat dengan hidung. Pelabuhan Muara Angke adalah salah satu tempat bersandarnya kapal tradisional yang akan membawa penumpang menuju Pulau Tidung. Karena hari libur maka wisatawan domestik maupun mancanegara saat itu mebludak. Saya dan rombongan beserta seorang (yang katanya) pemandu wisata akhirnya menaiki kapal pada keberangkatan yang kedua, setelah kapal yang pertama berangkat sudah sarat muatan. Selain dari Muara Angke, wisatawan yang ingin berkunjung ke Kepulauan Seribu dapat juga berangkat dari dermaga Marina Ancol menggunakan kapal cepat Predator, namun harga tiketnya mahal, kira-kira  sekitar 10 kali lipat dari harga tiket kapal tradisional per-orangnya.



Dari pelabuhan rakyat Muara Angke sampai ke Pulau Tidung memakan waktu 2,5 jam perjalanan menggunakan kapal tradisional. Jika menggunakan kapal cepat Predator, waktu perjalanan bisa dipangkas menjadi 1 jam. Sepanjang perjalanan menuju Tidung kami melewati beberapa pulau. Jangan tanyakan nama pulau yang sedang kita lewati kepada pemandu wisata, karena dia tidak hafal (saking banyaknya). Lebih baik buka GPS di gadget yang terhubung dengan internet, maka kita bisa langsung mengetahui posisi kita di mana kita berada kini dan pulau-pulau yang tengah kita lewati.

Jika kita sudah melihat air laut yang berwarna hijau toska dan Jembatan Cinta, berarti kita sudah hampir sampai di pulau yang katanya terindah se-kepulauan Seribu itu. Jembatan Cinta merupakan land mark dari Pulau Tidung, jembatan ini menghubungkan antara Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil. Konon, dulu kita bisa merasakan getaran cinta di atas jembatan itu, karena dulu  jembatan terbuat dari kayu sehingga bergetar-getar jika dilalui. Namun ketika saya ke sana, Jembatan Cinta baru selesai diremajakan (dibetonisasi dan diberi penerangan di sepanjang jembatan dengan memanfaatkan sel tenaga surya, sehingga di malam hari Jembatan Cinta bisa dilalui.


Sesampainya di dermaga Pulau Tidung, mata saya terpana pada warna air laut yang bening hijau toska serta rerimbunan pohon di atas pantai. Ingin rasanya tidur siang di bawah rerimbunan pohon kemudian berenang menikmati kesegaran air laut yang memanjakan indera penglihatan. Kami pun turun dari kapal satu per satu, kemudian ada seorang pemandu wisata lokal menyambut, ternyata pemandu wisata sebelumnya Cuma bertugas mengawal antar pelabuhan. Rombongan pun bergerak menuju lokasi home stay, perumahan warga setempat yang biasa dijadikan tempat menginap para wisatawan.



Saya melewati Kantor Kecamatan, Puskemas, dan beberapa kantor pememrintahan lainnya, yang pastinya sepi karena sedang libur nasional. Ada anekdot dari teman saya yang bertugas di Kepulauan Seribu menyebutkan bahwa, “Perbedaan antara petugas pemerintahan di darat dan di kepulauan adalah : kalau petugas darat liburan ke pulau, kalau petugas pulau liburan pulang ke daratan.

Sepanjang penyusuran pandangan menuju lokasi home stay, saya tidak menemukan kendaraan mobil satu pun, moda transportasi yang banyak digunakan di pulau ini adalah kapal, becak bermotor, serta kendaraan roda dua lainnya yaitu motor dan sepeda. Pulau yang mungil ini akan sesak jika dilalui mobil, selain jalanannya tidak memadai, karena jalanan di pulau ini seukuran gang di daratan Jakarta. Hanya ada satu menara BTS milik provider telepon selular, sehingga sinyal yang aktif hanya satu, milik provider selular pemilik menara itu.

Setelah ishoma (istirahat-sholat-makan) di tempat home stay, saya dan rombongan mengikuti pemandu wisata lokal ke pantai untuk menaiki kapal menuju lokasi snorkeling. Dalam paket wisata ini, setiap orang mendapat fasilitas 1 unit sepeda mini untuk berkendara di Pulau Tidung, terserah mau digunakan atau tidak. Saya dan ibu saya menaiki sepeda mini sembari membawa peralatan snorkeling di keranjang depan, sementara yang lainnya memilih untuk berjalan kaki.
Setibanya di pantai, setelah menitipkan sepeda, kami langsung menaiki perahu kayu yang akan membawa rombongan ke tengah laut yang arusnya tidak begitu deras. Di beberapa titik dekat Jembatan Cinta, banyak rombongan karyawan perkantoran yang sedang berwisata snorkeling di sekitar pulau ini, mereka umumnya mengenakan seragam.

Setibanya di lokasi snorkeling, agak jauh dari tempat keramaian rombongan orang-orang perkantoran itu, mesin perahu pun dimatikan, jangkar dilepas, namun rombongan di kapal saya tidak ada satu pun yang bergerak untuk terjun ke laut untuk snorkeling. Ternyata, ibu-ibu yang usianya sudah masuk kategori lansia, maupun instruktur senam yang masih muda-muda pun tidak berani untuk snorkeling, karena mereka belum pernah melakukan hal itu sebelumnya.

Akhirnya saya, yang sebulan sebelumnya sempat snorkeling di Tanjung Benoa Nusa Dua Bali, mengajarkan bagai mana cara memakai alat pernapasan snorkel dan cara menggunakan kaki katak. Setelah selesai mengajarkan, mereka tetap takut akan kedalaman dari laut di sana. Tidak sabar, akhirnya saya terjun pertama kali untuk mencontohkan dan memastikan bahwa tempat snorkeling di sana tidak begitu dalam, hanya sekitar 1,5 meter, dan sangat nyaman untuk menikmati keindahan bawah lautnya. 



Cuaca cerah didukung dengan kondisi laut yang tenang, membuat saya dan rombongan betah berlama-lama snorkeling di sana. Ibu-ibu dibantu oleh pemandu wisata akhirnya berani juga pelan-pelan turun ke air. Ada yang teriak-teriak,”Kaki saya di bawah..kaki saya di bawah!” jelas saja, kalau di atas namanya jungkir balik, ada yang tertawa-tawa. Bisa atau tidak mereka berenang, itu urusan lain, semua mengambang berkat jaket pelampung yang dikenakan masing-masing. Sekitar satu jam saya dan rombongan snorkeling di tempat itu, pemandangan bawah lautnya sungguh luar biasa, air lautnya pun segar, rasa asinnya sopan dan bersahabat. Ikan-ikannya didominasi ikan berwarna belang hitam-kuning, berbeda dengan ikan di Bali yang dominan berwarna hitam-putih. Terumbu karangnya pun beberapa ada yang masih hidup dan aktif bergerak-gerak.



Setelak puas snorkeling, perjalanan dilanjutkan menuju pantai dekat Jembatan Cinta. Di pantai itu banyak disewakan permainan wisata air mulai dari kayak, bebek-bebekan yang dikayuh, banana boat sampai jet ski. Setibanya di pantai, rombongan kami langsung menuju kantin di mana terdapat deretan warung makan tradisional yang menyajikan aneka menu makanan khas. Kebetulan sekali, sehabis snorkeling, dalam kondisi kedinginan dan kelaparan, kami langsung memesan otak-otak hangat yang baru saja dibakar serta mengeluarkan aroma menggugah selera.



Setelah kenyang, rombongan ada yang naik banana boat berkeliling jembatan, saya sendiri lebih tertarik melihat orang-orang yang menantang adrenalinnya dengan melompat dari atas lengkungan Jembatan Cinta ke laut. Ada yang melompat sedirian, ada juga beramai-ramai laki-laki dan perempuan semua ingin menjajal kemampuan. Sebenarnya saya juga tertarik untuk lompat juga, tapi karena masih kenyang sehabis makan otak-otak sepiring, rasanya tidak enak kalau langsung basah-basahan lagi. Perut biasanya terasa begah jika sehabis makan terus mandi.



Akhirnya saya ikut rombongan para isntruktur senam yang memilih menaiki banana boat, tapi saya berada di boat, bukan di banana, untuk merekam video aksi mereka. Biasanya sebelum menaiki banana boat, akan ditawarkan apakah akan diceburkan di laut atau tidak. Karena rombongan masih kenyang, akhirnya para instruktur senam itu memilih naik banana boat yang biasa saja, tidak diceburkan karena habis makan.
Untuk banana boat yang diceburkan di tengah laut, biasanya di belakang deretan rombongan yang duduk di banana, ada petugas yang mengarahkan agar banana terbalik ketika berbelok, yang mengakibatkan penumpangnya tercebur di laut dan harus berenang menuju pantai. Pada dasarnya, ada sensasi tantangan adrenalin, jika kita diceburkan di tengah laut, karena umumnya penumpang akan terpental, berteriak kegirangan, kemudian tercebur di laut yang menjadi sensasi istimewa tersendiri dengan keluarnya enzim endorfin yang bisa membuat awet muda dan meningkatkan kekebalan tubuh.

Setelah puas bermain di pantai dekat Jembatan Cinta, rombongan kami kembali menaiki perahu menuju pantai semula, dekat tempat penginapan/home stay, setelah mengembalikan peralatan snorkeling kepada pemandu wisata, saya dan ibu kembali mengambil sepeda mini di parkiran. Hari mulai senja, keluarga nelayan terlihat mengangkat deretan ikan asin yang mereka jemur di pinggir pantai, sebagian orang lainnya sibuk memasang rel kereta mainan anak-anak, untuk persiapan acara pasar malam nanti.





 Sambil menunggu antrian untuk bilas dan mandi setelah snorkeling di tempat home stay, saya berkeliling pulau menggunakan sepeda menyusuri jalanan konblok, melihat-lihat fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti sekolah, posyandu, dan tempat pembuangan sampah yang lokasinya berdekatan dengan pemakaman. Agar tidak tersasar, saya menjadikan menara BTS  yang menjulang tinggi di pulau itu, sebagai patokan arah.  Ada pemandangan menarik di tepi persimpangan jalan, yaitu  terdapat sumur timba, yang populer di Jakarta pada tahun 80-an. Saat ini mungkin sudah sangat sulit ditemukan sumur timba di daratan kota Jakarta. Pada umumnya warga sudah berlangganan air PDAM atau menggunakan mesin pompa air untuk mengambil air tanah.







Kembali setelah ishoma, rombongan menyewa becak motor menuju Jembatan Cinta untuk menikmati suasana pantai malam hari. Berbeda dengan kondisi siang yang ramai pengunjung, malam hari di Jembatan Cinta sepi pengunjung, hanya terlihat tiga orang sedang memancing di sana.  Lampu-lampu tenaga surya nampak temaram cahayanya di sepanjang jembatan menuju Pulau Tidung Kecil. Di bawah gugusan pohon kelapa, terdapat lampu hias menggantung, yang cahayanya indah seperti hujan bintang jatuh. Karena sepi, akhirnya kami kembali menuju pantai tempat dilangsungkannya pasar malam. Anak-anak berebut menaiki kereta-keretaan yang rel-nya dipasang sore tadi. Rombongan pasar malam itu berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya di Kepulauan Seribu. Beruntung, malam itu giliran Pulau Tidung yang mereka kunjungi.



Pukul sembilan malam, kami menutup perjalanan wisata dengan menyantap barbeque ala Pulau Tidung di tepi pantai. Ada sotong, bawal, tongkol yang semuanya dibakar dan diberi bumbu kecap. Ternyata bukan hanya rombongan wisata kami saja yang barbeque-an di tepi pantai, rombongan lain pun turut serta, sudah termasuk dalam paket wisata. Keesokan harinya, kami bersiap kembali ke Jakarta, dengan perasaan gembira kembali ke Ibu Kota unuk memulai kembali aktivitas di sana.