Dua bulan lalu, pada awal Mei, terdapat harpitnas (hari kejepit nasional).
Libur sehari itu saya manfaatkan untuk berwisata keluar dari hiruk pikuk kota.
Kebetulan ada rombongan senam pernapasan, yang ibu saya ikuti, ingin bertamasya
ke Pulau Tidung. Saya pun ikut, dengan biaya relatif murah, sekitar tiga ratus
ribu-an per orang, saya sudah dapat mengikuti paket wisata ke sana.
Kami serombongan terdiri dari 11 orang, terdiri dari 6 orang ibu-ibu
pensiunan yang sekarang aktif sebagai anggota senam pernapasan, 4 orang
instruktur senam, dan saya sendiri PNS aktif yang ikut-ikutan ibunya bertamasya
ke Pulau Tidung. Seumur-umur, dari saya lahir sampai besar di Jakarta, belum
pernah sekalipun menginjakkan kaki di salah satu pulau dari Kepulauan Seribu.
Saat itulah kali pertama saya mengunjungi Kepulauan Seribu.
Rombongan kami berangkat pagi sekali menuju pelabuhan rakyat Muara Angke,
untuk mencapai ke sana, kami harus melewati pelelangan ikan yang jalanannya becek
dan beraroma tidak sedap, sangat menyengat, tidak bersahabat dengan hidung.
Pelabuhan Muara Angke adalah salah satu tempat bersandarnya kapal tradisional
yang akan membawa penumpang menuju Pulau Tidung. Karena hari libur maka
wisatawan domestik maupun mancanegara saat itu mebludak. Saya dan rombongan
beserta seorang (yang katanya) pemandu wisata akhirnya menaiki kapal pada
keberangkatan yang kedua, setelah kapal yang pertama berangkat sudah sarat
muatan. Selain dari Muara Angke, wisatawan yang ingin berkunjung ke Kepulauan
Seribu dapat juga berangkat dari dermaga Marina Ancol menggunakan kapal cepat
Predator, namun harga tiketnya mahal, kira-kira
sekitar 10 kali lipat dari harga tiket kapal tradisional per-orangnya.
Dari pelabuhan rakyat Muara Angke sampai ke Pulau Tidung memakan waktu 2,5
jam perjalanan menggunakan kapal tradisional. Jika menggunakan kapal cepat Predator, waktu perjalanan bisa
dipangkas menjadi 1 jam. Sepanjang perjalanan menuju Tidung kami melewati
beberapa pulau. Jangan tanyakan nama pulau yang sedang kita lewati kepada
pemandu wisata, karena dia tidak hafal (saking banyaknya). Lebih baik buka GPS
di gadget yang terhubung dengan
internet, maka kita bisa langsung mengetahui posisi kita di mana kita berada
kini dan pulau-pulau yang tengah kita lewati.
Jika kita sudah melihat air laut yang berwarna hijau toska dan Jembatan
Cinta, berarti kita sudah hampir sampai di pulau yang katanya terindah
se-kepulauan Seribu itu. Jembatan Cinta merupakan land mark dari Pulau Tidung, jembatan ini menghubungkan antara
Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil. Konon, dulu kita bisa merasakan
getaran cinta di atas jembatan itu, karena dulu
jembatan terbuat dari kayu sehingga bergetar-getar jika dilalui. Namun
ketika saya ke sana, Jembatan Cinta baru selesai diremajakan (dibetonisasi dan
diberi penerangan di sepanjang jembatan dengan memanfaatkan sel tenaga surya,
sehingga di malam hari Jembatan Cinta bisa dilalui.
Sesampainya di dermaga Pulau Tidung, mata saya terpana pada warna air laut
yang bening hijau toska serta rerimbunan pohon di atas pantai. Ingin rasanya
tidur siang di bawah rerimbunan pohon kemudian berenang menikmati kesegaran air
laut yang memanjakan indera penglihatan. Kami pun turun dari kapal satu per
satu, kemudian ada seorang pemandu wisata lokal menyambut, ternyata pemandu
wisata sebelumnya Cuma bertugas mengawal antar pelabuhan. Rombongan pun
bergerak menuju lokasi home stay,
perumahan warga setempat yang biasa dijadikan tempat menginap para wisatawan.
Saya melewati Kantor Kecamatan, Puskemas, dan beberapa kantor pememrintahan
lainnya, yang pastinya sepi karena sedang libur nasional. Ada anekdot dari
teman saya yang bertugas di Kepulauan Seribu menyebutkan bahwa, “Perbedaan
antara petugas pemerintahan di darat dan di kepulauan adalah : kalau petugas
darat liburan ke pulau, kalau petugas pulau liburan pulang ke daratan.
Sepanjang penyusuran pandangan menuju lokasi home stay, saya tidak menemukan kendaraan mobil satu pun, moda
transportasi yang banyak digunakan di pulau ini adalah kapal, becak bermotor,
serta kendaraan roda dua lainnya yaitu motor dan sepeda. Pulau yang mungil ini
akan sesak jika dilalui mobil, selain jalanannya tidak memadai, karena jalanan
di pulau ini seukuran gang di daratan Jakarta. Hanya ada satu menara BTS milik
provider telepon selular, sehingga sinyal yang aktif hanya satu, milik provider
selular pemilik menara itu.
Setelah ishoma (istirahat-sholat-makan) di tempat home stay, saya dan rombongan mengikuti pemandu wisata lokal ke
pantai untuk menaiki kapal menuju lokasi snorkeling. Dalam paket wisata ini,
setiap orang mendapat fasilitas 1 unit sepeda mini untuk berkendara di Pulau
Tidung, terserah mau digunakan atau tidak. Saya dan ibu saya menaiki sepeda
mini sembari membawa peralatan snorkeling di keranjang depan, sementara yang
lainnya memilih untuk berjalan kaki.
Setibanya di pantai, setelah menitipkan sepeda, kami langsung menaiki
perahu kayu yang akan membawa rombongan ke tengah laut yang arusnya tidak
begitu deras. Di beberapa titik dekat Jembatan Cinta, banyak rombongan karyawan
perkantoran yang sedang berwisata snorkeling di sekitar pulau ini, mereka
umumnya mengenakan seragam.
Setibanya di lokasi snorkeling, agak jauh dari tempat keramaian rombongan
orang-orang perkantoran itu, mesin perahu pun dimatikan, jangkar dilepas, namun
rombongan di kapal saya tidak ada satu pun yang bergerak untuk terjun ke laut
untuk snorkeling. Ternyata, ibu-ibu yang usianya sudah masuk kategori lansia,
maupun instruktur senam yang masih muda-muda pun tidak berani untuk snorkeling,
karena mereka belum pernah melakukan hal itu sebelumnya.
Akhirnya saya, yang sebulan sebelumnya sempat snorkeling di Tanjung Benoa
Nusa Dua Bali, mengajarkan bagai mana cara memakai alat pernapasan snorkel dan cara
menggunakan kaki katak. Setelah selesai mengajarkan, mereka tetap takut akan
kedalaman dari laut di sana. Tidak sabar, akhirnya saya terjun pertama kali
untuk mencontohkan dan memastikan bahwa tempat snorkeling di sana tidak begitu
dalam, hanya sekitar 1,5 meter, dan sangat nyaman untuk menikmati keindahan
bawah lautnya.
Cuaca cerah didukung dengan kondisi laut yang tenang, membuat saya dan
rombongan betah berlama-lama snorkeling di sana. Ibu-ibu dibantu oleh pemandu
wisata akhirnya berani juga pelan-pelan turun ke air. Ada yang
teriak-teriak,”Kaki saya di bawah..kaki saya di bawah!” jelas saja, kalau di
atas namanya jungkir balik, ada yang tertawa-tawa. Bisa atau tidak mereka
berenang, itu urusan lain, semua mengambang berkat jaket pelampung yang
dikenakan masing-masing. Sekitar satu jam saya dan rombongan snorkeling di
tempat itu, pemandangan bawah lautnya sungguh luar biasa, air lautnya pun
segar, rasa asinnya sopan dan bersahabat. Ikan-ikannya didominasi ikan berwarna
belang hitam-kuning, berbeda dengan ikan di Bali yang dominan berwarna
hitam-putih. Terumbu karangnya pun beberapa ada yang masih hidup dan aktif
bergerak-gerak.
Setelak puas snorkeling, perjalanan dilanjutkan menuju pantai dekat
Jembatan Cinta. Di pantai itu banyak disewakan permainan wisata air mulai dari
kayak, bebek-bebekan yang dikayuh, banana
boat sampai jet ski. Setibanya di
pantai, rombongan kami langsung menuju kantin di mana terdapat deretan warung
makan tradisional yang menyajikan aneka menu makanan khas. Kebetulan sekali,
sehabis snorkeling, dalam kondisi kedinginan dan kelaparan, kami langsung
memesan otak-otak hangat yang baru saja dibakar serta mengeluarkan aroma
menggugah selera.
Setelah kenyang, rombongan ada yang naik banana boat berkeliling jembatan,
saya sendiri lebih tertarik melihat orang-orang yang menantang adrenalinnya
dengan melompat dari atas lengkungan Jembatan Cinta ke laut. Ada yang melompat
sedirian, ada juga beramai-ramai laki-laki dan perempuan semua ingin menjajal
kemampuan. Sebenarnya saya juga tertarik untuk lompat juga, tapi karena masih
kenyang sehabis makan otak-otak sepiring, rasanya tidak enak kalau langsung
basah-basahan lagi. Perut biasanya terasa begah jika sehabis makan terus mandi.
Akhirnya saya ikut rombongan para isntruktur senam yang memilih menaiki banana boat, tapi saya berada di boat, bukan di banana, untuk merekam video aksi mereka. Biasanya sebelum menaiki banana boat, akan ditawarkan apakah akan
diceburkan di laut atau tidak. Karena rombongan masih kenyang, akhirnya para
instruktur senam itu memilih naik banana
boat yang biasa saja, tidak diceburkan karena habis makan.
Untuk banana boat yang diceburkan di tengah laut, biasanya di belakang
deretan rombongan yang duduk di banana,
ada petugas yang mengarahkan agar banana
terbalik ketika berbelok, yang mengakibatkan penumpangnya tercebur di laut dan harus
berenang menuju pantai. Pada dasarnya, ada sensasi tantangan adrenalin, jika
kita diceburkan di tengah laut, karena umumnya penumpang akan terpental, berteriak
kegirangan, kemudian tercebur di laut yang menjadi sensasi istimewa tersendiri
dengan keluarnya enzim endorfin yang bisa membuat awet muda dan meningkatkan
kekebalan tubuh.
Setelah puas bermain di pantai dekat Jembatan Cinta, rombongan kami kembali
menaiki perahu menuju pantai semula, dekat tempat penginapan/home stay, setelah mengembalikan
peralatan snorkeling kepada pemandu wisata, saya dan ibu kembali mengambil
sepeda mini di parkiran. Hari mulai senja, keluarga nelayan terlihat mengangkat
deretan ikan asin yang mereka jemur di pinggir pantai, sebagian orang lainnya
sibuk memasang rel kereta mainan anak-anak, untuk persiapan acara pasar malam
nanti.
Sambil menunggu antrian untuk bilas
dan mandi setelah snorkeling di tempat home
stay, saya berkeliling pulau menggunakan sepeda menyusuri jalanan konblok,
melihat-lihat fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti sekolah, posyandu,
dan tempat pembuangan sampah yang lokasinya berdekatan dengan pemakaman. Agar
tidak tersasar, saya menjadikan menara BTS
yang menjulang tinggi di pulau itu, sebagai patokan arah. Ada pemandangan menarik di tepi persimpangan jalan,
yaitu terdapat sumur timba, yang populer
di Jakarta pada tahun 80-an. Saat ini mungkin sudah sangat sulit ditemukan
sumur timba di daratan kota Jakarta. Pada umumnya warga sudah berlangganan air
PDAM atau menggunakan mesin pompa air untuk mengambil air tanah.
Kembali setelah ishoma, rombongan menyewa becak motor menuju Jembatan Cinta
untuk menikmati suasana pantai malam hari. Berbeda dengan kondisi siang yang
ramai pengunjung, malam hari di Jembatan Cinta sepi pengunjung, hanya terlihat
tiga orang sedang memancing di sana. Lampu-lampu tenaga surya nampak temaram
cahayanya di sepanjang jembatan menuju Pulau Tidung Kecil. Di bawah gugusan
pohon kelapa, terdapat lampu hias menggantung, yang cahayanya indah seperti
hujan bintang jatuh. Karena sepi, akhirnya kami kembali menuju pantai tempat
dilangsungkannya pasar malam. Anak-anak berebut menaiki kereta-keretaan yang
rel-nya dipasang sore tadi. Rombongan pasar malam itu berpindah dari satu pulau
ke pulau lainnya di Kepulauan Seribu. Beruntung, malam itu giliran Pulau Tidung
yang mereka kunjungi.
Pukul sembilan malam, kami menutup perjalanan wisata dengan menyantap barbeque ala Pulau Tidung di tepi
pantai. Ada sotong, bawal, tongkol yang semuanya dibakar dan diberi bumbu
kecap. Ternyata bukan hanya rombongan wisata kami saja yang barbeque-an di tepi
pantai, rombongan lain pun turut serta, sudah termasuk dalam paket wisata.
Keesokan harinya, kami bersiap kembali ke Jakarta, dengan perasaan gembira
kembali ke Ibu Kota unuk memulai kembali aktivitas di sana.
Hehehe...baiklah :)
BalasHapus