Sabtu, 27 Juli 2013

Sehari Semalam Berwisata Bahari di Pulau Terindah di Kepulauan Seribu

Dua bulan lalu, pada awal Mei, terdapat harpitnas (hari kejepit nasional). Libur sehari itu saya manfaatkan untuk berwisata keluar dari hiruk pikuk kota. Kebetulan ada rombongan senam pernapasan, yang ibu saya ikuti, ingin bertamasya ke Pulau Tidung. Saya pun ikut, dengan biaya relatif murah, sekitar tiga ratus ribu-an per orang, saya sudah dapat mengikuti paket wisata ke sana.




Kami serombongan terdiri dari 11 orang, terdiri dari 6 orang ibu-ibu pensiunan yang sekarang aktif sebagai anggota senam pernapasan, 4 orang instruktur senam, dan saya sendiri PNS aktif yang ikut-ikutan ibunya bertamasya ke Pulau Tidung. Seumur-umur, dari saya lahir sampai besar di Jakarta, belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di salah satu pulau dari Kepulauan Seribu. Saat itulah kali pertama saya mengunjungi Kepulauan Seribu.


Rombongan kami berangkat pagi sekali menuju pelabuhan rakyat Muara Angke, untuk mencapai ke sana, kami harus melewati pelelangan ikan yang jalanannya becek dan beraroma tidak sedap, sangat menyengat, tidak bersahabat dengan hidung. Pelabuhan Muara Angke adalah salah satu tempat bersandarnya kapal tradisional yang akan membawa penumpang menuju Pulau Tidung. Karena hari libur maka wisatawan domestik maupun mancanegara saat itu mebludak. Saya dan rombongan beserta seorang (yang katanya) pemandu wisata akhirnya menaiki kapal pada keberangkatan yang kedua, setelah kapal yang pertama berangkat sudah sarat muatan. Selain dari Muara Angke, wisatawan yang ingin berkunjung ke Kepulauan Seribu dapat juga berangkat dari dermaga Marina Ancol menggunakan kapal cepat Predator, namun harga tiketnya mahal, kira-kira  sekitar 10 kali lipat dari harga tiket kapal tradisional per-orangnya.



Dari pelabuhan rakyat Muara Angke sampai ke Pulau Tidung memakan waktu 2,5 jam perjalanan menggunakan kapal tradisional. Jika menggunakan kapal cepat Predator, waktu perjalanan bisa dipangkas menjadi 1 jam. Sepanjang perjalanan menuju Tidung kami melewati beberapa pulau. Jangan tanyakan nama pulau yang sedang kita lewati kepada pemandu wisata, karena dia tidak hafal (saking banyaknya). Lebih baik buka GPS di gadget yang terhubung dengan internet, maka kita bisa langsung mengetahui posisi kita di mana kita berada kini dan pulau-pulau yang tengah kita lewati.

Jika kita sudah melihat air laut yang berwarna hijau toska dan Jembatan Cinta, berarti kita sudah hampir sampai di pulau yang katanya terindah se-kepulauan Seribu itu. Jembatan Cinta merupakan land mark dari Pulau Tidung, jembatan ini menghubungkan antara Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil. Konon, dulu kita bisa merasakan getaran cinta di atas jembatan itu, karena dulu  jembatan terbuat dari kayu sehingga bergetar-getar jika dilalui. Namun ketika saya ke sana, Jembatan Cinta baru selesai diremajakan (dibetonisasi dan diberi penerangan di sepanjang jembatan dengan memanfaatkan sel tenaga surya, sehingga di malam hari Jembatan Cinta bisa dilalui.


Sesampainya di dermaga Pulau Tidung, mata saya terpana pada warna air laut yang bening hijau toska serta rerimbunan pohon di atas pantai. Ingin rasanya tidur siang di bawah rerimbunan pohon kemudian berenang menikmati kesegaran air laut yang memanjakan indera penglihatan. Kami pun turun dari kapal satu per satu, kemudian ada seorang pemandu wisata lokal menyambut, ternyata pemandu wisata sebelumnya Cuma bertugas mengawal antar pelabuhan. Rombongan pun bergerak menuju lokasi home stay, perumahan warga setempat yang biasa dijadikan tempat menginap para wisatawan.



Saya melewati Kantor Kecamatan, Puskemas, dan beberapa kantor pememrintahan lainnya, yang pastinya sepi karena sedang libur nasional. Ada anekdot dari teman saya yang bertugas di Kepulauan Seribu menyebutkan bahwa, “Perbedaan antara petugas pemerintahan di darat dan di kepulauan adalah : kalau petugas darat liburan ke pulau, kalau petugas pulau liburan pulang ke daratan.

Sepanjang penyusuran pandangan menuju lokasi home stay, saya tidak menemukan kendaraan mobil satu pun, moda transportasi yang banyak digunakan di pulau ini adalah kapal, becak bermotor, serta kendaraan roda dua lainnya yaitu motor dan sepeda. Pulau yang mungil ini akan sesak jika dilalui mobil, selain jalanannya tidak memadai, karena jalanan di pulau ini seukuran gang di daratan Jakarta. Hanya ada satu menara BTS milik provider telepon selular, sehingga sinyal yang aktif hanya satu, milik provider selular pemilik menara itu.

Setelah ishoma (istirahat-sholat-makan) di tempat home stay, saya dan rombongan mengikuti pemandu wisata lokal ke pantai untuk menaiki kapal menuju lokasi snorkeling. Dalam paket wisata ini, setiap orang mendapat fasilitas 1 unit sepeda mini untuk berkendara di Pulau Tidung, terserah mau digunakan atau tidak. Saya dan ibu saya menaiki sepeda mini sembari membawa peralatan snorkeling di keranjang depan, sementara yang lainnya memilih untuk berjalan kaki.
Setibanya di pantai, setelah menitipkan sepeda, kami langsung menaiki perahu kayu yang akan membawa rombongan ke tengah laut yang arusnya tidak begitu deras. Di beberapa titik dekat Jembatan Cinta, banyak rombongan karyawan perkantoran yang sedang berwisata snorkeling di sekitar pulau ini, mereka umumnya mengenakan seragam.

Setibanya di lokasi snorkeling, agak jauh dari tempat keramaian rombongan orang-orang perkantoran itu, mesin perahu pun dimatikan, jangkar dilepas, namun rombongan di kapal saya tidak ada satu pun yang bergerak untuk terjun ke laut untuk snorkeling. Ternyata, ibu-ibu yang usianya sudah masuk kategori lansia, maupun instruktur senam yang masih muda-muda pun tidak berani untuk snorkeling, karena mereka belum pernah melakukan hal itu sebelumnya.

Akhirnya saya, yang sebulan sebelumnya sempat snorkeling di Tanjung Benoa Nusa Dua Bali, mengajarkan bagai mana cara memakai alat pernapasan snorkel dan cara menggunakan kaki katak. Setelah selesai mengajarkan, mereka tetap takut akan kedalaman dari laut di sana. Tidak sabar, akhirnya saya terjun pertama kali untuk mencontohkan dan memastikan bahwa tempat snorkeling di sana tidak begitu dalam, hanya sekitar 1,5 meter, dan sangat nyaman untuk menikmati keindahan bawah lautnya. 



Cuaca cerah didukung dengan kondisi laut yang tenang, membuat saya dan rombongan betah berlama-lama snorkeling di sana. Ibu-ibu dibantu oleh pemandu wisata akhirnya berani juga pelan-pelan turun ke air. Ada yang teriak-teriak,”Kaki saya di bawah..kaki saya di bawah!” jelas saja, kalau di atas namanya jungkir balik, ada yang tertawa-tawa. Bisa atau tidak mereka berenang, itu urusan lain, semua mengambang berkat jaket pelampung yang dikenakan masing-masing. Sekitar satu jam saya dan rombongan snorkeling di tempat itu, pemandangan bawah lautnya sungguh luar biasa, air lautnya pun segar, rasa asinnya sopan dan bersahabat. Ikan-ikannya didominasi ikan berwarna belang hitam-kuning, berbeda dengan ikan di Bali yang dominan berwarna hitam-putih. Terumbu karangnya pun beberapa ada yang masih hidup dan aktif bergerak-gerak.



Setelak puas snorkeling, perjalanan dilanjutkan menuju pantai dekat Jembatan Cinta. Di pantai itu banyak disewakan permainan wisata air mulai dari kayak, bebek-bebekan yang dikayuh, banana boat sampai jet ski. Setibanya di pantai, rombongan kami langsung menuju kantin di mana terdapat deretan warung makan tradisional yang menyajikan aneka menu makanan khas. Kebetulan sekali, sehabis snorkeling, dalam kondisi kedinginan dan kelaparan, kami langsung memesan otak-otak hangat yang baru saja dibakar serta mengeluarkan aroma menggugah selera.



Setelah kenyang, rombongan ada yang naik banana boat berkeliling jembatan, saya sendiri lebih tertarik melihat orang-orang yang menantang adrenalinnya dengan melompat dari atas lengkungan Jembatan Cinta ke laut. Ada yang melompat sedirian, ada juga beramai-ramai laki-laki dan perempuan semua ingin menjajal kemampuan. Sebenarnya saya juga tertarik untuk lompat juga, tapi karena masih kenyang sehabis makan otak-otak sepiring, rasanya tidak enak kalau langsung basah-basahan lagi. Perut biasanya terasa begah jika sehabis makan terus mandi.



Akhirnya saya ikut rombongan para isntruktur senam yang memilih menaiki banana boat, tapi saya berada di boat, bukan di banana, untuk merekam video aksi mereka. Biasanya sebelum menaiki banana boat, akan ditawarkan apakah akan diceburkan di laut atau tidak. Karena rombongan masih kenyang, akhirnya para instruktur senam itu memilih naik banana boat yang biasa saja, tidak diceburkan karena habis makan.
Untuk banana boat yang diceburkan di tengah laut, biasanya di belakang deretan rombongan yang duduk di banana, ada petugas yang mengarahkan agar banana terbalik ketika berbelok, yang mengakibatkan penumpangnya tercebur di laut dan harus berenang menuju pantai. Pada dasarnya, ada sensasi tantangan adrenalin, jika kita diceburkan di tengah laut, karena umumnya penumpang akan terpental, berteriak kegirangan, kemudian tercebur di laut yang menjadi sensasi istimewa tersendiri dengan keluarnya enzim endorfin yang bisa membuat awet muda dan meningkatkan kekebalan tubuh.

Setelah puas bermain di pantai dekat Jembatan Cinta, rombongan kami kembali menaiki perahu menuju pantai semula, dekat tempat penginapan/home stay, setelah mengembalikan peralatan snorkeling kepada pemandu wisata, saya dan ibu kembali mengambil sepeda mini di parkiran. Hari mulai senja, keluarga nelayan terlihat mengangkat deretan ikan asin yang mereka jemur di pinggir pantai, sebagian orang lainnya sibuk memasang rel kereta mainan anak-anak, untuk persiapan acara pasar malam nanti.





 Sambil menunggu antrian untuk bilas dan mandi setelah snorkeling di tempat home stay, saya berkeliling pulau menggunakan sepeda menyusuri jalanan konblok, melihat-lihat fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti sekolah, posyandu, dan tempat pembuangan sampah yang lokasinya berdekatan dengan pemakaman. Agar tidak tersasar, saya menjadikan menara BTS  yang menjulang tinggi di pulau itu, sebagai patokan arah.  Ada pemandangan menarik di tepi persimpangan jalan, yaitu  terdapat sumur timba, yang populer di Jakarta pada tahun 80-an. Saat ini mungkin sudah sangat sulit ditemukan sumur timba di daratan kota Jakarta. Pada umumnya warga sudah berlangganan air PDAM atau menggunakan mesin pompa air untuk mengambil air tanah.







Kembali setelah ishoma, rombongan menyewa becak motor menuju Jembatan Cinta untuk menikmati suasana pantai malam hari. Berbeda dengan kondisi siang yang ramai pengunjung, malam hari di Jembatan Cinta sepi pengunjung, hanya terlihat tiga orang sedang memancing di sana.  Lampu-lampu tenaga surya nampak temaram cahayanya di sepanjang jembatan menuju Pulau Tidung Kecil. Di bawah gugusan pohon kelapa, terdapat lampu hias menggantung, yang cahayanya indah seperti hujan bintang jatuh. Karena sepi, akhirnya kami kembali menuju pantai tempat dilangsungkannya pasar malam. Anak-anak berebut menaiki kereta-keretaan yang rel-nya dipasang sore tadi. Rombongan pasar malam itu berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya di Kepulauan Seribu. Beruntung, malam itu giliran Pulau Tidung yang mereka kunjungi.



Pukul sembilan malam, kami menutup perjalanan wisata dengan menyantap barbeque ala Pulau Tidung di tepi pantai. Ada sotong, bawal, tongkol yang semuanya dibakar dan diberi bumbu kecap. Ternyata bukan hanya rombongan wisata kami saja yang barbeque-an di tepi pantai, rombongan lain pun turut serta, sudah termasuk dalam paket wisata. Keesokan harinya, kami bersiap kembali ke Jakarta, dengan perasaan gembira kembali ke Ibu Kota unuk memulai kembali aktivitas di sana.







1 komentar: