Sabtu, 14 September 2013

Mari Kita Dukung Jamu Sebagai Warisan Kebudayaan Tak-Benda Bangsa Indonesia

Festival Jamu dan Kuliner Internasional 2013 resmi dibuka pada Jum’at malam, 13 September 2013. Rencananya acara ini berlangsung selama tiga hari hingga tanggal 15 September 2013. Acara ini dilangsungkan di halaman kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah, Semarang. Festival ini diikuti oleh 10 negara peserta yakni Polandia, Spanyol, Mesir, Jepang, Vietnam, Rusia, China, Austria, Jerman, dan Cekoslovakia. Di samping itu juga ada 5 negara peninjau di ataranya Filipina Myanmar, dan Singapur. Acara yang pada tahun ini mengusung tema ‘Jamu dan Kuliner Sebagai Warisan Budaya Lokal untuk Pasar Internasional’ menyediakan 53 stan jamu dan 10 stan kuliner dalam upaya melestarikan budaya lokal. Perhelatan ini merupakan salah satu agenda dalam rangkaian acara Visit Jawa Tengah 2013 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jateng. Dari dalam negeri, ditampilkan berbagai produk jamu dan herbal olahan dari Usaha Kecil Menengah (UKM) hingga jamu dan ekstrak tanaman yang diolah dari pabrikan.
Saat ini Jamu telah resmi dipersiapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk diajukan ke UNESCO untuk memperoleh pengakuan sebagai Warisan Kebudayaan Dunia. Langkah Kemendikbud ini merupakan awal dari perjuangan mengusung jamu menjadi Warisan Kebudayaan Tak-Benda, masih banyak langkah selanjutnya yang harus ditempuh, seperti meyakinkan panitia penilai UNESCO di samping harus menempuh antrian panjang karena setiap tahun UNESCO hanya berkenan mengakui satu saja Warisan Kebudayaan Tak-Benda dari setiap negara anggota lembaga kebudayaan PBB tersebut. Usaha Kemendikbud ini perlu dukungan dari berbagai pihak, dari Sabang sampai Merauke bersama-sama meyakinkan UNESCO bahwa jau benar-benar merupakan bagian integral kebudayaan Bangsa Indonesia di bidang kesehatan, kecantikan, yang layak dinobatkan sebagai salah satu Intangible Cultural Heritage setara dengan keris, batik, angklung, dan lain sebagainya.
Mahalnya harga obat di Indonesia sudah melampaui batas kemampuan ekonomi masyarakatnya, di satu sisi kebijakan pemerintah untuk mengedarka obat generik yang lebih murah daripada obat paten tampaknya tidak banyak membantu. Sejauh ini masyarakat Indonesia masih menggunakan obat-obatan kimia konvensional (obat paten) sebagai pilihan pertama di setiap pengobatan penyakitnya di tengah tingginya ragam tumbuhan berkhasiat obat di Indonesia. Sebelumnya sebuah survey pernah dilakukan untuk melihat seberapa populer jamu pada masyarakat Indonesia, hasilnya hampir 50% penduduk Indonesia pernah mengonsumsi jamu untuk mengobati dirinya, baik itu untuk menggantikan obat konvensional atau mendampingi terapi dengan obat konvensional. Banyak alasan mengapa profesional kesehatan seperti dokter ataupun apoteker tidak melakukan edukasi mendalam mengenai obat bahan alam ini, terutama untuk jamu tradisional. Kendala utama edukasi dan pemanfaatan jamu dalam pengobatan adalah, bukti ilmiah yang terkumpul masih sangat sedikit. Kurangnya pembuktian ilmiah, yang menyebabkan tenaga kesehatan belum merekomendasikan jamu kepada pasiennya. Bukti empiris atau pengalaman masyarakat tidaklah cukup kuat untuk menjadikan dokter dan apoteker memberikan rekomendasi memakai jamu dalam pelayanan kesehatan yang dilakukannya.
Sejak tahun 2010, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Permenkes no. 3 tahun 2010 mengenai saintifikasi Jamu, yaitu sebuah upaya dan proses pembuktian secara ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan, tidak hanya berdasarkan pengalaman turun menurun, namun khasiat jamu harus dapat dibuktikan secara keilmuan melalui penelitian. Langkah pertama yang dilakukan Depkes adalah dengan memberikan pelatihan khusus kepada dokter, dokter gigi, dan apoteker. Kemenkes menargetkan tahun 2015 nanti di setiap kabupaten/kota mempunyai puskesmas yang melayani pengobatan tradisional, komplementer, dan alternatif. Sejauh ini di Indonesia terdapat tiga kategori obat bahan alam antara lain jamu, herbal terstandar dan fitofarmaka. Pengelompokan tersebut berdasar atas cara pembuatan, klaim pengguna serta tingkat pembuktian khasiat.
Jamu Jamu merupakan bahan obat alam yang sediaannya masih berupa simplisia sederhana, seperti irisan rimpang, daun atau akar kering. Sedang khasiatnya dan keamanannya baru terbukti setelah secara empiris berdasarkan pengalama turun-temurun. Sebuah ramuan disebut jamu jika telah digunakan masyarakat melewati 3 generasi. Artinya bila umur satu generasi rata-rata 60 tahun, sebuah ramuan disebut jamu jika bertahan minimal 180 tahun. Selain tertulis "jamu", dikemasan produk tertera logo berupa ranting daun berwarna hijau dalam lingkaran.
Herbal Terstandar Herbal terstandar berada satu tingkat di atas jamu, jamu dapat dinaikkan kelasnya menjadi herbal terstandar dengan syarat bentuk sediaannya berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang terstandarisasi. Disamping itu herbal terstandar harus melewati uji praklinis seperti uji toksisitas (keamanan), kisaran dosis, farmakodinamik (kemanfaatan), dan teratogenik (keamanan terhadap janin). Uji praklinis meliputi in vivo dan in vitro. Riset in vivo dilakukan terhadap hewan uji. Sedangkan in vitro dilakukan pada sebagian organ yang terisolasi, kultur sel atau mikroba. Riset in vitro bersifat parsial, artinya baru diuji pada sebagian organ atau pada cawan petri. Tujuannya untuk membuktikan klaim sebuah obat. Setelah terbukti aman dan berkhasiat, bahan herbal tersebut berstatus herbal terstandar. Meski telah teruji secara praklinis, herbal terstandar tersebut belum dapat diklaim sebagai obat. Namun konsumen dapat mengkonsumsinya karena telah terbukti aman dan berkhasiat. Kemasan produk Herbal Terstandar berlogo jari-jari daun dalam lingkaran.
Fitofarmaka Sebuah herbal terstandar dapat dinaikkan kelasnya menjadi fitofarmaka setelah melalui uji klinis pada manusia. Dosis dari hewan coba dikonversi ke dosis aman bagi manusia. Dari uji itulah dapat diketahui kesamaan efek pada hewan coba dan manusia. Bisa jadi terbukti ampuh ketika diuji pada hewan coba, belum tentu ampuh juga ketika dicobakan pada manusia.Uji klinis terdiri atas single center yang dilakukan di laboratorium penelitian dan multicenter di berbagai lokasi agar lebih obyektif. Setelah lolos uji fitofarmaka, produsen dapat mengklaim produknya sebagai obat. Namun demikian, klaim tidak boleh menyimpang dari materi uji klinis sebelumnya. Itulah tiga kriteria produk bahan alam dan tahapan panjang yang harus dilalui oleh produsen obat bahan alam untuk mendapatkan status tertinggi sebagai obat yaitu fitofarmaka. Semua uji tersebut ditempuh demi keamanan konsumen. Sebagai konsumen jamu, saya biasanya membeli produk yang direkomendasikan oleh keluarga, umumnya yang merek dagangnya sudah familiar di pasaran, pada kemasan produknya terdapat nomor registrasi dari badan pengawas obat dan makanan (BPOM) dan dinas kesehatan, serta terdapat tanggal produksi serta tanggal kadaluarsa. Di masa lalu, produk jamu masih sedikit variannya. Seiring dengan kemajuan zaman, varian jamu pun semakin berkembang, kemasan dan penyajiannya pun mulai berubah. Dulu jika hendak mengonsumsi jamu, hal pertama yang terbayang adalah rasanya yang pahit. Sekarang, untuk menghindari rasa pahit, ada jamu yang berbentuk butiran tablet atau kaplet yang bisa langsung diminum segera tanpa menyisakan rasa pahit. Di beberapa tempat kini tersedia es krim jamu. Tentu saja kadarnya jamunya hanya sedikit, sajian ini merupakan cara unik untuk mempopulerkan jamu kepada kalangan anak muda.
Menurut pengalaman penulis, yang sejak kecil sering mengonsumsi jamu, khasiat jamu berbeda dengan obat paten yang sekali minum langsung cespleng. Khasiat jamu yang merupakan ramuan alami ini dirasakan bertahap, tidak instan seperti obat paten. Untuk produk jamu yang khasiatnya langsung terasa, patut diwaspadai jika produk tersebut merupakan jamu berbahan kimia obat (BKO) yang telah dicampur zat kimia yang dapat berdampak buruk bagi tubuh. Kita wajib mewaspadai produk jamu di pasaran yang memiliki ciri kemasannya bergambar aneh dan nama jamunya pun aneh. Apalagi jika tercium aroma kimia dari larutan jamu tersebut. Selain itu, jika jamu tidak ada keterangan Bahasa Indonesia-nya dapat dipastikan bahwa jamu tersebut tidak melewati pengawasan BPOM dan dinas kesehatan. Semoga ilmuwan, cendekiawan, dan budayawan Nusantara dapat membantu Kemendikbud menginventarisir perbendaharaan seluruh jenis jamu yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Penulis berharap di masa datang festival jamu dan kuliner internasional dapat diselenggarakan di berbagai daerah di Indonesia, sehingga UNESCO pun menjadi yakin bahwa jamu memang benar-benar layak dijadikan sebagai Warisan Kebudayaan Tak-Benda dari Bangsa Indonesia.
Bersumber : http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-info/501-info-jamu-as-world-cultural-heritage-2013 http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/09/11/236436/Festival-Jamu-Internasional-di-Gubernuran http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news_smg/2013/09/14/171904/-Festival-Jamu-dan-Kuliner-Internasional-Resmi-Dibuka-Gubernur http://www.manjur.net/02/10/2012/saintifikasi-jamu-jadikan-jamu-tuan-rumah-di-indonesia http://health.kompas.com/read/2013/01/31/09021466/Kiat.Mengenali.Jamu.Berbahaya http://lansida.blogspot.com/2011/04/bedanya-jamu-herbal-terstandar-dan.html http://www.indonesia.go.id/en/regional-government/central-java-province/1215-pariwisata/13326-festival-jamu-internasional-digelar-di-semarang http://www.tempo.co/read/news/2013/09/02/058509551/Festival-Jamu-Internasional-Digelar-di-Semarang http://bumi-herbal.com/2013/06/jejaring-saintifikasi-jamu-diperluas/ http://www.duniaproduk.com/berita/34323/es-krim-jamu-upaya-populerkan-kepada-kaum-muda

4 komentar: